Teknik Arsitektur Unsiq

Teknik Arsitektur Unsiq

Kamis, 27 Maret 2014

KONSEP GREEN BUILDING dalam PERSPEKTIF AGAMA



KONSEP GREEN BUILDING dalam PERSPEKTIF AGAMA

Oleh : Muafani, S.T. M.T.
  
Abstrak

Green building atau yang lebih dikenal dengan istilah Bangunan ramah lingkungan merupakan fenomena dan perkembangan arsitektur dewasa ini dalam rangka menyikapi dan mencoba untuk mencegah terjadinya pemanasan global yang disebabkan oleh menipisnya lapisan ozon yang tentunya juga akibat sumbangsih gaya hidup modern yang kurang memperhatikan lingkungan sehingga keseimbangan lingkungan menjadi terganggu, sekalipun menjaga lingkungan sebenarnya sudah dituntunkan dalam setiap ajaran agama. Lingkungan hidup tidak semata‑mata dipandang sebagai penyedia sumber daya alam serta sebagai daya dukung kehidupan yang harus dieksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya keserasian dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup dapat muncul karena adanya pemanfaatan sumber daya alam dan jasa‑jasa lingkungan yang berlebihan sehingga meningkatkan berbagai tekanan terhadap lingkungan hidup, baik dalam bentuk kelangkaan sumber daya dan pencemaran maupun kerusakan lingkungan lainnya. Berbagai masalah lingkungan hidup, terutama yang berkaitan dengan pemanasan global, kepunahan jenis flora dan fauna serta melebarnya lubang lapisan ozon, pencemaran dan kemiskinan, telah menjadi masalah global karena meliputi seluruh bagian bumi. Tak satu pun bangsa dan negara di dunia yang luput dari dampak yang ditimbulkan oleh berbagai masalah tersebut.

Kata Kunci : Green Building, Manusia, Lingkungan, Agama,


PENDAHULUAN

Konsep Green Building atau bangunan ramah lingkungan saat ini sedang menjadi tren dunia bagi pengembangan property, karena diharapkan dengan bangunan ramah lingkungan ini mempunyai kontribusi menahan laju pemanasan global dengan mampu membenahi iklim mikro.
Secara ekologis, manusia adalah bagian dari lingkungan hidup. Komponen yang ada di sekitar manusia yang sekaligus sebagai sumber mutlak kehidupannya merupakan lingkungan hidup manusia. Lingkungan hidup inilah yang menyediakan berbagai sumber daya alam yang menjadi daya dukung bagi kehidupan manusia dan komponen lainnya. Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang terdapat di alam yang berguna bagi manusia, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk masa kini maupun masa mendatang. Kelangsungan hidup manusia tergantung dari  kebutuhan lingkungannya, sebaliknya kebutuhan lingkungan tergantung bagaimana kearifan manusia dalam mengelolanya.
Oleh karena itu, lingkungan hidup tidak semata‑mata dipandang sebagai penyedia sumber daya alam serta sebagai daya dukung kehidupan yang harus dieksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya keserasian dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup dapat muncul karena adanya pemanfaatan sumber daya alam dan jasa‑jasa lingkungan yang berlebihan sehingga meningkatkan berbagai tekanan terhadap lingkungan hidup, baik dalam bentuk kelangkaan sumber daya dan pencemaran maupun kerusakan lingkungan lainnya. Berbagai masalah lingkungan hidup, terutama yang berkaitan dengan pemanasan global, kepunahan jenis flora dan fauna serta melebarnya lubang lapisan ozon, pencemaran dan kemiskinan, telah menjadi masalah global karena meliputi seluruh bagian bumi. Tak satu pun bangsa dan negara di dunia yang luput dari dampak yang ditimbulkan oleh berbagai masalah tersebut.


PEMBAHASAN

Pada saat terjadi bencana tsunami di beberapa negara termasuk di Indonesia, seperti yang pernah diberitakan oleh harian Kompas, bahwa United Nations Environment Programme (UNEP) menyiapkan desain rumah ramah lingkungan (eco-house) untuk daerah-daerah yang terkena bencana tsunami di beberapa negara. Desain tersebut akan disesuaikan dengan kondisi sosial-budaya di daerah yang membutuhkannya. Beberapa tipe desain rumah ramah lingkungan dipaparkan dalam workshop tentang eco-house/city, yang diselenggarakan bersama oleh Kantor Regional UNEP untuk Asia-Pasifik dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup di Jakarta, Senin (30/5). Desain rumah yang juga telah dipresentasikan di Sri Lanka dan Maladewa itu menggunakan elemen-elemen alami sehingga ramah lingkungan dan hemat energi.
Staf Urusan Lingkungan Hidup Regional pada Kantor Regional UNEP untuk Asia-Pasifik, Mahesh Pradhan, menjelaskan bahwa konsep awal itu akan diintegrasikan dengan kondisi dan kebijakan pemerintah setempat. Di Indonesia, tentu konsep eco-house atau eco-village ini akan disinergikan dengan cetak biru yang telah dibuat Bappenas. Hal ini juga mempertimbangkan aspek sosial budaya masyarakat setempat. Misalnya, di Aceh masjid merupakan sesuatu yang sangat sentral, itu harus disesuaikan dengan konsep eco-village yang kami tawarkan. Masyarakat yang tertimpa bencana tsunami lebih membutuhkan acuan yang praktis untuk membangun kembali rumahnya. Karena itulah, UNEP mencoba memberikan beberapa alternatif desain rumah yang secara fleksibel dapat disesuaikan dengan kebutuhan setempat.
Menurut Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Arsyiah Arsyad, pemerintah daerah telah menyiapkan kawasan untuk dijadikan proyek percontohan di Desa Labuy, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar. Pihaknya masih menunggu penetapan kawasan tersebut sebagai eco-village atau yang dalam bahasa Aceh disebut sebagai kuta beutari (kota yang indah dan nyaman). Terkait dengan penyiapan eco-village itu, Asisten Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Urusan Standarisasi dan Teknologi Hendra Setiawan mengemukakan perlunya suatu pusat pelayanan bagi masyarakat, yaitu semacam construction support center, untuk memberi layanan informasi kepada masyarakat.

Sedangkan dalam pemberitaan lain, di harian Kompas pernah dimuat tentang pembahasan Konsep green building atau bangunan ramah lingkungan yang didorong menjadi tren dunia bagi pengembangan properti saat ini. Bangunan ramah lingkungan ini punya kontribusi menahan laju pemanasan global dengan membenahi iklim mikro. “Poin terbesar dalam konsep ini adalah penghematan air dan energi serta penggunaan energi terbarukan,” kata Rana Yusuf Nasir dari Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI), sebagai salah satu pembicara dalam diskusi panel “Pemanasan Global-Apa yang Dapat Dilakukan Dunia Properti?”, Jumat (24/8) di Jakarta.
Di Indonesia akses energi terbarukan masih lemah. Suplai energi listrik untuk properti hanya mengandalkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang belum menggunakan sumber energi terbarukan. Sedangkan di Amerika Serikat, berbagai perusahaan penyuplai energi listrik dengan berbagai pilihan bahan bakar, termasuk bahan bakar terbarukan. Pengembang yang memilih energi listrik dari sumber terbarukan akan memperoleh poin terbesar dalam konsep green building. Pembicara dalam diskusi panel tersebut di antaranya Yandi Andri Yatmo (Ikatan Arsitek Indonesia-Jakarta), Meiko Handoyo (Dewan Pimpinan Daerah Real Estat Indonesia-Jakarta), Simon Molenberg (Director Tourism, Real Estate and Construction Asia Region), dan Stephanus D Satriyo (Asosiasi Manajemen Properti Indonesia).
Di banyak negara, bagi Meiko, penerapan konsep green building terbukti menambah nilai jual. Namun, di Indonesia masih butuh proses edukasi panjang. Di Indonesia bahkan muncul kerancuan bahwa bangunan ramah lingkungan itu mahal, sulit, dan tidak feasible secara bisnis. padahal para pengelola gedung sebagai pengguna energi cukup besar kini memiliki tanggung jawab mengurangi pemanasan global dengan cara-cara menghemat energi, air, bahan bakar, dan sebagainya.
Kegiatan diskusi panel yang difasilitasi PT Colliers International Indonesia dan PT Cisco System Indonesia itu sekaligus untuk mengenalkan acuan green building melalui konsep Leadership in Energy and Environtmental Design (LEED). Penerapan konsep LEED pada hakikatnya sebagai upaya pemberian penghargaan atas karya properti ramah lingkungan atau yang memegang konsep green building. Konsep LEED memperkenalkan 85 poin penilaian yang memiliki peringkat tersertifikasi, silver, gold, dan platinum.

Menurut Rana, yang juga menjadi Ketua Himpunan Ahli Tata Udara dan Refrigerasi tersebut, penerapan LEED untuk pembangunan properti juga mensyaratkan secara mutlak beberapa hal, seperti efisiensi penggunaan air, penggunaan energi secara minimum, atau upaya perlindungan lapisan ozon. Sementara itu, pemilik atau pembangun properti di Indonesia hingga sekarang belum ada yang memiliki sertifikasi LEED. Di lain pihak, Beberapa negara, seperti India, China, Dubai, dan Vietnam, juga sudah cukup banyak menerapkan konsep LEED. Sertifikasi LEED pada awalnya dirumuskan Green Building Council Amerika Serikat.
Sedangkan menurut Yandi, dunia pendidikan dan profesi arsitektur selama ini cenderung melihat arsitektur sebagai bangunan yang berdiri sendiri. Kita perlu memperluas pengertian tentang arsitektur ini. Tolok ukur green building membuka kesempatan untuk menempatkan bangunan dalam jaringan yang lebih luas, terkait aspek-aspek iklim, sumber daya alam, sosial, dan budaya. Pendidikan berperan penting dalam pemahaman tentang sustainability. Isu utama menyangkut bangunan ramah lingkungan, di antaranya adalah membangun hanya yang diperlukan dan tidak menggunakan lebih dari yang diperlukan, menganut prinsip keterkaitan, serta memandang profesi arsitek sebagai “pengurus bumi” (steward of the earth). Strategi desain yang dapat diterapkan antara lain, pemanfaatan material berkelanjutan, keterkaitan dengan ekologi lokal, keterkaitan antara transit dan tempat tinggal, rekreasi dan bekerja, serta efisiensi penggunaan air, penanganan limbah, dan mengedepankan kondisi lokal baik secara fisik maupun secara sosial.


PANDANGAN GLOBAL AGAMA MENYOROTI MASALAH LINGKUNGAN HIDUP

Dalam Agama Kristen, Alkitab memperingatkan bahwa kerusakan alam selama ini adalah karena ulah dan kejahatan manusia. Mazmur (107:33-34), misalnya, menyatakan:

Dibuat-Nya sungai-sungai menjadi padang gurun, dan pancaran-pancaran air menjadi tanah gersang, tanah yang subur menjadi padang asin, oleh sebab kejahatan orang-orang yang diam di dalamnya“.

Alkitab sebenarnya tidak pernah menyaksikan bahwa Tuhan memberikan hak kepada manusia untuk menguasai dan mengusahakan alam dan sumber dayanya secara eksploitatif dan seenaknya. Sebaliknya, manusia dituntut tanggung jawabnya untuk memelihara dan mengasihi segala ciptaan-Nya.

Sedangkan Hindu menerangkan bahwa di dalam Mahabaratha terdapat keterangan bahwa

“Alam adalah pernberi segala keinginan dan alam adalah sapi perah yang selalu mengeluarkan susu (kenikmatan) bagi yang menginginkannya.

Ungkapan ini mengandung arti bahwa bumi atau alam yang diibaratkan sebagai sapi perah harus dipelihara dengan baik sehingga banyak mengeluarkan kebutuhan yang diperlukan oleh manusia. Kalau sapi perah itu tidak dipelihara, apalagi dibantai, niscaya ia tidak akan mengeluarkan susu lagi untuk kehidupan manusia. Dengan kata lain, alam ini apabila dieksploitasi akan membuat manusia sengsara.

Adapan Agama Budha menyatakan bahwa dalam Karaniyametta Sutta disebutkan :

“…hendaklah ia berpikir semoga semua makhluk berbahagia. Makhluk hidup apapun juga, yang lemah dan yang kuat tanpa kecuali, yang panjang atau yang besar, yang sedang, pendek, kecil atau gemuk, yang tampak atau tak tampak, yang jauh ataupun yang dekat, yang terlahir atau yang akan lahir, semoga semua makhluk berbahagia“.

Hal ini mengandung arti bahwa agama Budha menolak terjadinya pencemaran dan perusakan alam dan segenap potensinya.

Lain halnya dalam pandangan atau perspektif Islam terkait dengan keharusan menyikapi Konsep Green Building atau Ramah Lingkungan yang tentunya didasarkan pada hal-hal atau pedoman yang terkandung dalam Kitab Suci Al Qur’an yang dijadikan pedoman dan pandangan hidup setiap muslim dalam menjalani segal aktifitas kehidupannya, Allah telah memberikan informasi spiritual kepada manusia untuk bersikap ramah terhadap lingkungan. Informasi tersebut memberikan sinyalamen bahwa manusia harus selalu menjaga dan melestarikan lingkungan agar tidak menjadi rusak, tercemar bahkan menjadi punah, sebab apa yang Allah berikan kepada manusia semata-mata merupakan suatu amanah. Melalui Kitab Suci yang Agung ini (Al-Qur’an) membuktikan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk bersikap ramah lngkungan. Firman Allah SWT Di dalam Al-Qur’an sangat jelas berbicara tentang hal tersebut.

Sikap ramah lingkungan yang diajarkan oleh agama Islam kepada manusia dapat dirinci sebagai berikut :

1.      Agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah  lingkungan serta melestarikannya
Perhatikan surat Ar Ruum ayat 9 dibawah ini :
ayat-1.jpg
Artinya : Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri.

Pesan yang disampaikan dalam surat Ar Ruum ayat 9  di atas menggambarkan agar manusia tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang dikwatirkan terjadinya kerusakan serta kepunahan sumber daya alam, sehingga tidak memberikan sisa sedikitpun untuk generasi mendatang. Untuk itu Islam mewajibkan agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah  lingkungan serta melestarikannya.Mengolah serta melestarikan lingkungan tercermin secara sederhana dari  tempat tinggal (rumah) seorang muslim. Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani :

”Dari Abu Hurairah : jagalah kebersihan dengan segala usaha yang mampu kamu lakukan. Sesungguhnya Allah menegakkan Islam di atas prinsip kebersihan. Dan tidak akan masuk syurga, kecuali orang-orang yang bersih” . (HR. Thabrani). 

Dari Hadits di atas memberikan pengertian bahwa manusia tidak boleh kikir untuk membiayai diri dan lingkungan secara wajar untuk menjaga kebersihan agar kesehatan diri dan keluarga/masyarakat kita terpelihara.Demikian pula, mengusahakan penghijauan di sekitar tempat tinggal dengan menanamkan pepohonan yang bermanfaat untuk kepentingan ekonomi dan kesehatan, disamping juga dapat memelihara peredaran suara yang kita hisap agar selalu bersih, bebas dari pencemaran. Dalam sebuah Hadits disebutkan :

”Tiga hal yang menjernihkan pandangan, yaitu menyaksikan pandangan pada yang hijau lagi asri, dan pada air yang mengalir serta pada wajah yang rupawan (HR. Ahmad)

2.      Agar manusia tidak berbuat kerusakan terhadap lingkungan
Di dalam surat Ar Ruum ayat 41 Allah SWT memperingatkan bahwa terjadinya kerusakan di darat dan di laut akibat ulah manusia.
ayat-2.jpg
Artinya : Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Serta surat Al Qashash ayat 77 menjelaskan sebagai berikut
ayat-3.jpg
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. 

Firman  Allah SWT di dalam surat Ar Ruum ayat 41 dan surat Al Qashash ayat 77 menekankan agar manusia berlaku ramah terhadap lingkungan (environmental friendly) dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi ini. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Anas, dijelaskan bahwa :

Rasulullah ketika berwudhu’ dengan (takaran air sebanyak) satu mud dan mandi (dengan takaran air sebanyak) satu sha’ sampai lima mud”  (HR. Muttafaq ’alaih).

Satu mud sama dengan 1 1/3 liter menurut orang Hijaz dan 2 liter menurut orang Irak (lihat Lisanul Arab Jilid 3 hal 400). Padahal hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahputra (2003) membuktikan bahwa rata-rata orang berwudhu’ sebanyak 5 liter. Hal ini membuktikan bahwa manusia sekarang cenderung mengekploitasi sumber daya air secara berlebihan, atau dengan kata lain, setiap manusia menghambur-hamburkan air sebanyak 3  sampai  3 2/3 liter setiap orangnya setiap kali mereka berwudhu’. 

Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi pernah bersabda :

”Hati-hatilah terhadap dua macam kutukan; sahabat yang mendengar bertanya : Apakah dua hal itu ya Rasulullah ? Nabi menjawab : yaitu  orang yang membuang hajat ditengah jalan atau di tempat orang yang berteduh”

Di dalam Hadits lainnya ditambah dengan membuang hajat di tempat sumber air

Dari keterangan di atas, jelaslah aturan-aturan agama Islam yang menganjurkan untuk menjaga kebersihan dan lingkungan. Semua larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah agar tidak mencelakakan orang lain, sehingga terhindar dari musibah yang menimpahnya.Islam memberikan panduan yang cukup jelas bahwa sumber daya alam merupakan daya dukung bagi kehidupan manusia, sebab fakta spritual menunjukkan bahwa terjadinya bencana alam seperti banjir, longsor, serta bencana alam lainnya lebih banyak didominasi oleh aktifitas manusia. Allah SWT Telah memberikan fasilitas daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, secara yuridis fiqhiyah berpeluang dinyatakan bahwa dalam perspektif hukum Islam status hukum pelestarian lingkungan hukumnya adalah wajib (Abdillah, 2005 : 11-12).

3.      Agar manusia selalu membiasakan diri bersikap ramah terhadap lingkungan
Di dalam Surat Huud ayat 117, Allah  SWT berfirman :
ayat-4.jpg
Artinya : Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.

Fakta spritual yang terjadi selama ini membuktikan bahwa Surat Huud ayat 117 benar-benar terbukti. Perhatikan bencana alam banjir di Jakarta, tanah longsor yang di daerah-daerah di Jawa Tengah, intrusi air laut, tumpukan sampah dimana-mana, polusi udara yang tidak terkendali, serta bencana alam di daerah atau di negara lain membuktikan bahwa Allah akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, melainkan penduduknya terdiri dari orang-orang yang berbuat kebaikan terhadap lingkungan.

Dalam suatu kisah diriwayatkan, ada seorang penghuni surga. Ketika ditanyakan kepadanya perbuatan apakah yang dilakukannya ketika di dunia hingga ia menjadi penghuni surga?. Dia menjawab bahwa selagi di dunia, ia pernah menanam sebuah pohon. Dengan sabar dan tulus, pohon itu dipeliharanya hingga tumbuh subur dan besar. Menyadari akan keadaannya yang miskin ia teringat bunyi sebuah hadits Nabi,

Tidak seorang muslim yang menanam tanaman atau menyemaikan tumbuh-tumbuhan, kemudian buah atau hasilnya dimakan manusia atau burung, melainkan yang demikian itu adalah shodaqoh baginya”.

Didorong keinginan untuk bersedekah, maka ia biarkan orang berteduh di bawahnya, dan diikhlaskannya manusia dan burung memakan buahnya. Sampai ia meninggal pohon itu masih berdiri hingga setiap orang (musafir) yang lewat dapat istirahat berteduh dan memetik buahnya untuk dimakan atau sebagai bekal perjalanan. Burung pun ikut menikmatinya. Riwayat tersebut memberikan nilai yang sangat berharga sebagai bahan kontemplasi, artinya dengan adanya kepedulian terhadap lingkungan memberikan dua pahala sekaligus, yakni pahala surga dunia berupa hidup bahagia dan sejahtera dalam lingkungan yang bersih, indah dan hijau, dan pahala surga akhirat kelak di kemudian hari. Untuk mendapatkan dua pahala tersebut seorang manusia harus peduli terhadap lingkungan, apalagi manusia telah diangkat oleh Allah sebagai khalifah. Hal ini dapat dilihat pada surat Al-Baqarah ayat 30 berikut :
ayat-5.jpg
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”

Kekhalifahan menuntut manusia untuk memelihara, membimbing dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan penciptaanNya. Karena itu, Nabi Muhammad SAW melarang memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar, atau menyembelih binatang yang terlalu kecil. Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan agar selalu bersikap bersahabat dengan segala sesuatu sekalipun tidak bernyawa. Al-Qu’an tidak mengenal istilah ”penaklukan alam” karena secara tegas Al-Qur’an menyatakan bahwa yang menaklukan alam untuk manusia adalah Allah. Secara tegas pula seorang muslim diajarkan untuk mengakui bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan untuk menundukkan sesuatu kecuali dengan penundukan Allah (Shihab, 1996 : 492-493).


KESIMPULAN DAN SARAN

Secara ekologis pelestarian lingkungan merupakan keniscayaan ekologis yang tidak dapat ditawar oleh siapapun dan kapanpun. Oleh karena itu, pelestarian lingkungan tidak boleh tidak harus dilakukan oleh manusia. Sedangkan secara spiritual fiqhiyah Islamiyah Allah SWT memiliki kepedulian ekologis yang paripurna. Paling tidak dua pendekatan ini memberikan keseimbangan pola pikir bahwa lingkungan yang baik berupa sumber daya alam yang melimpah yang diberikan Allah SWT kepada manusia tidak akan lestari dan pulih (recovery) apabila tidak ada campur tangan manusia. Hal ini diingatkan oleh Allah dalam Surat Ar Ra’d ayat 11 :
ayat-6.jpg
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan  yang ada pada diri mereka sendiri.

Umat Islam selalu berkeyakinan untuk tidak terperosok pada kesalahan yang kedua kalinya. Kejadian yang sangat dasyat yang kita alami akhir-akhir ini, sebut saja bencana alam Tsunami misalnya, pencemaran udara, pencemaran air dan tanah, serta sikap rakus pengusaha dengan menebang habis hutan tropis melalui aktifitas illegal logging, serta sederet bentuk kerusakan lingkungan hidup lainnya, haruslah menjadi pelajaran yang sangat berharga.
Hal ini ditegaskan oleh dalam firmanNya di dalam surat Al-Hasyr ayat 2 :
ayat-7.jpg
”Maka ambillah  (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”

Bersikaplah menjadi pelaku aktif dalam mengolah  lingkungan serta melestarikannya, tidak berbuat kerusakan terhadap lingkungan, dan selalu membiasakan diri bersikap ramah terhadap lingkungan.


DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, M. 2005. Fikih Lingkungan.  UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Harahap, A, dkk. 1997. Islam dan Lingkungan Hidup. Penerbit Yayasan Swarna Bhumy, Jakarta.
Kahar, M.A., 1996. Almanak Lingkungan Hidup Indonesia 1995/1996. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup, 2002. Himpunan Peraturan Perundang-undangan dibidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan. Jakarta.
Shihab, M. Quraish, 1996. Wawasan Al-Qu’an, Mizan. Bandung.
Syahputra, B. 2003. Pola Pemanfaatan air di Kecamatan Kalasan, Sleman,
Yogyakarta.
Tesis. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kompas Online, Koran Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar