Teknik Arsitektur Unsiq

Teknik Arsitektur Unsiq

Selasa, 11 Maret 2014

KEBIJAKAN PERUMAHAN DI PERKOTAAN



KEBIJAKAN PERUMAHAN DI PERKOTAAN




 


Oleh : Muafani, S.T,M.T.

Abstrak

Perumahan yang merupakan salah satu dari tiga kebutuhan pokok manusia yang harus terpenuhi atau lebih tepatnya sebagai kebutuhan dasar manusia, mulai hanya sebatas sebagai tempat berteduh dari hujan dan panas hingga sebagai sarana menunjukkan kelas sosial atau bahkan sebagai komoditas ekonomi, tentunya sangat mutlak keberadaannya, tetapi seiring perkembangan penduduk maupun kebutuhan lain yang meyertainya, perumahan sering tergeser oleh tuntutan pertumbuhan kebutuhan ekonomi seiring dengan pertumbuhan penduduknya. Kegiatan ekonomi atau perdagangan, yang pada umumnya terpusat, sering mengeser keberadaan perumahan yang seharusnya mampu berdampingan dan berjalan beriringan karena fungsi perumahan sebagai kebutuhan dasar manusia, namun pada kenyataannya, karena dalam rangka pemenuhan tuntutan kebutuhan ekonomi, perumahan menjadi bergeser ke pinggir pusat kota sebagai pusat perekonomian atau pusat kegiatan. Oleh karena itu, perlu pemahaman tentang pemenuhan kebutuhan ekonomi tanpa harus mngesampingkan keberadaan perumahan sebagai kebutuhan dasar manusia sehingga area perdagangan yang hanya kegiatannya berjalan pada pagi hingga sore hari, pada saat malam hari akan tetap berlangsung kehidupan yang tentunya akan mengurangi tingkat kriminalitas pada komplek perdagangan.

Kata Kunci : Perumahan, Perdagangan, keamanan, malam hari


 PENDAHULUAN

Dewasa ini, kebutuhan perumahan semakin bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat dan kurang mampu dikendalikan baik oleh pemerintah maupun masing-masing individunya. Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia atau kalau dalam falsafah jawa mengatakan bahawa rumah atau papan merupakan kebutuhan pokok setiap orang. Namun dalam perkembangannya, rumah saat ini juga dapat berperan sebagai sarana pengakuan status sosial manusia hingga rumah juga mampu dijadikan sebagai komuditas ekonomi yang menjanjikan.
Sebagai kebutuhan dasar manusia, rumah harus mampu menampung kegiatan penghuninya atau tidak hanya bisa menampilkan bentuk fisik bangunan tanpa memperhatikan kebutuhan wadah kegiatan penghuninya yang tentunya satu orang dengan yang lainnya kemungkinan besar terdapat perbedaan. Rumah akan mampu menampung dan memenuhi kebutuhan kegiatan dari penghuninya apabila rumah tersebut memang diperuntukkan dan dibuat sesuai dengan kebutuhan kegiatan penghuninya.
Seiring pemenuhan kebutuhan dasar manusia, selain perumahan, secara bersama tentunya akan muncul tuntutan pemenuhan kebutuhan yang lainnya. Dari kegiatan pemenuhan kebutuhan ini akan muncul dan berkembang kegiatan perekonomian atau perdagangan yang berada di pusat keramaian atau pusat kota yang menyebabkan bergesernya fungsi perumahan menjadi kawasan perdagangan. Sehingga akan menuntut perubahan fungsi dari sekedar bangunan sebagai rumah huni menjadi kios hingga gudang.
Kota atau pusat kota sebagai pusat kegiatan manusia yang sering hanya berlangsung pada pagi hingga sore hari, sepertihalnya pusat perdagangan, akan memungkinkan meningkatnya kejahatan di dalamnya. Selain hal tersebut, kota juga merupakan daerah yang telah terjamah oleh perencanaan yang terperinci sehingga sebenarnya mampu ditata terkait dengan perkembangannya. Selanjutnya, kota sebagai konsentrasi penduduk terbesar akan berkembang seiring dengan kebutuhan pemenuhan wadah kegiatan yang berlangsung. Disamping itu, Kota secara sosiologis dapat dikemukakan sebagai sumber pengembangan manusiawi hingga sumber konflik sosial massif yang akan merubah seluruh kehidupan.

PEMBAHASAN

Dalam rangka untuk menampilkan gambaran strategi keterpaduan dalam pengembangan kota sebagai wilayah pemukiman, diharapkan dengan beberapa kebijakan yang multi sektoral mampu memenuhi wawasan keterpaduan yang diidam-idamkan. Wahid (1983) dalam Budihardjo (1998) mengungkapkan kebijakan dalam pengembangan daerah perkotaan sebagai wilayah pemukiman ini adalah :
1.      Perbaikan lingkungan fisik wilayah pemukimannya, baik untuk tempat tinggal, tempat usaha dan bekerja, tempat rekreasi dan hiburan, tempat pendidikan dan pengembangan pribadi secara kultural dengan bagian-bagian lain dari negara yang sama dan negara-negara lain,
2.      Perluasan lingkungan wilayah pemukimannya secara drastis, terutama dengan membuka tanah-tanah baru, baik melalui cara tidak langsung oleh pemerintah (kredit untuk real estate) maupun langsung oleh pemerintah (penyediaan perumahan murah dan sebagai kelanjutan, rumah susun),
3.      Perluasan jaringan wilayah pemukiman dengan jalan mendorong pertumbuhan permukiman di kota-kota lain sekitar, dalam sebuah proses perkembangan komplementatif antar kota (Jakarta – Tangerang – Bekasi – Karawang, Semarang – Salatiga – Kendal – Kudus, Yogyakarta – Klaten – Wates – Magelang – Bantul, Surabaya – Malang – Mojokerto – Bangkalan – Gresik), yang bertumpu pada kecepatan laulintas dan mudahnya sarana perhubungan antar kota,
4.      Pemencaran kawasan industri ke pinggiran kota-kota besar, digabungkan dengandesentralisasi kawasan pasar dan pusat perdagangan (terutama kawasan keuangan/financial distric, kawasan pelayanan wisata dan kawasan perkantoran/high rise office buildings),
5.      Penciptaan kantong-kantong rekreasi massif di pinggiran maupun di tengah-tengah kota, baik yang bersifat sederhana (taman-taman biasa) hingga yang merupakan kompleks lengkap sebagai dunia hiburan tersendiri (Taman Mini Indonesia Indah, Taman Impian Jaya Ancol),
6.      Penyediaan sarana insidentil berskala massif untuk menampung arus pulang ke udik selama beberapa hari saja di waktu-waktu tertentu, seperti menjelang lebaran, tahun baru dan sebagainya.
7.      Perbaikan pelayanan umum secara bertahap tetapi menetap, dan jaringan yang semakin luas (pelayanan telepon, penyediaan tenaga listrik, pemasangan pipa air leiding, pemasangan pipa gas alam dan seterusnya.

Nasution (1983) dalam Budihardjo (1998) menyatakan bahwa telah menjadi kenyataan umum, bahwa di kota-kota besar selalu terjadi aglomerasi penduduk dan berbagai kegiatan baik kegiatan ekonomi, politik, maupun kebudayaan yang cukup besar dan pada umumnya juga terjadi pengelompokan kegiatan di suatu lokasi tertentu, sehingga di kota-kota besar kita akan selalu menyaksikan berbagai pusat kegiatan, yang antara lain pusat perkantoran, pusat perdagangan, kampus universitas, dan sebagainya yang akan menimbulkan adanya persaingan untuk memperebutkan lokasi-lokasi di sekitar pusat kegiatan atau paling dekat dengan pusat-pusat kegiatan industri, perdagangan atau perkantoran itu. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan permukiman bukan hanya menyangkut perbandingan antara jumlah penduduk yang semakin bertambambah dengan luas tanah yang tersedia tetapi juga menyangkut persaingan mendapatkan lokasi.
Dari persaingan memeroleh tempat pada pusat kegiatan akan menyebabkan pergeseran fungsu pemukiman dan penurunan kualitas kehidupan di kawasan perkampungan rakyat di tengah-tengah kota, walaupun ada proyek perbaikan kampug, juga memaksa mereka yang tidak mampu menanggung beban ekonomis pemeliharaan tingkat kualitas yang ada, untuk berpindah ke tempat lain, umumnya ke pinggiran kota dan membentuk kawasan perumahan yang paralel penyebarannya dengan penyebaran lapisan-lapisan lebih mampu di kawasan-kawasanmewah dan menengah yang baru di pinggiran kota.
Namun demikian, pola pemekaran wilayah pemukiman dengan membuka daerah-daerah baru tidak memecahkan masalah penurunan kualitas kehidupan di tengah kota, kalau ditinjau dari sudut sosiologi, bahkan dengan kondisi semacam ini akan mematikan kehidupan sosial pada malam hari di pusat kota karena sudah tidak ada lagi kegiatan yang berjalan. Karena kalau dilihat dari sudut pandang pola pemekaran daerah perkotaan sebagai wilayah pemukiman saja sudah tampak masalah mendasar yang dihadapi rangkaian kebijakan perkotaan selama ini, maka dapat diperkirakan kesulitan-kesulitan besar yang dihadapi oleh aspek-aspek lain dari totalitas kebijakan yang diambil itu (Wahid, 1983 dalam Budihardjo, 1998).
Keterpaduan tidak berarti harus diambilnya pola pemekaran sekaligus peningkatan pelayanan umum, karena itu berada di luar jangkauan pemerintahan negara-negara berkembang sepertihalnya Indonesia, keterpaduan justru harus dicari pada pilihan yang dilakukan antara antara kedua hal tersebut di atas, yaitu antara pemekaran wilayah pemukiman dan peningkatan pelayanan umum.
Di samping hal tersebut di atas, sering muncul pertanyaan terkait kepentingan umum dalam penentuan suatu lokasi tanah sebagai daerah pemukiman, namun demikian, kadang penentuan sebagai kepentingan umum tersebut kadang dijadikan tabir di balik kepentingan swasta yang bersembunyi di belakangnya. Konflik-konflik yang terjadi dalam proses penggusuran selama ini sering disebabkan karena adanya keraguan masyarakat bahwa penggusuran tanah-tanah mereka adalah benar-benar untuk dan demi kepentingan umum (Nasution, 1983 dalam Budihadjo, 1998).
Hal ini juga terjadi pada saat dilaksanakan kebijakan pemerintah terkait peremajaan kota yang terutama diarahkan guna menghilangkan daerah kumuh melalui upaya pembangunan kembali. Teori yang mendasari program ini adalah bahwa para penduduk kota tidak hanya akan memperoleh tempat tinggal yang lebih baik bila rumah yang rusak dimusnahkan, melainkan daerah perkotaan juga akan lebih siap untuk melakukan pembangunan ekonominya kembali, namun kenyataannya karena operasi pasar perumahan tidak dikenal secara luas maka para penghuni yang ada hanya berpindah ke daerah sekitarnya sehingga menimbulkan daerah kumuh yang baru (White, 1992).
White (1992) juga mengungkapkan permasalahan lain yang terkait dengan pemekaran atau dengan penciptaan perumahan baru, adalah
1.      kemampuan masyarakat untuk memperoleh perumahan,
2.      pembiayaan pemerintah di bidang perumahan,
3.      perawatan bagi perumahan dan kualitas lingkungan tempat tinggal,
4.      berkurangnya campur tangan pemerintah di bidang perumahan.

Dalam penentuan kebijakan yang menyangkut perumahan tentunya harus memperhatikan beberapa hal dan Wahid (1983) dalam Budihadjo (1998) menerangkan bahwa rangkaian kebijakan tersebut minimal harus meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.      Penetapan areal (zona) perumahan murah di kawasan-kawasan rakyat yang sudah ada, untuk diremajakan secara berangsur-angsur dengan sarana kredit yang memadai dari pemerintah, dengan melarang sama sekali pembuatan rumah mewah dalam areal tersebut.
2.      Penetapan pola pembagian kapling yang memungkinkan dibangunnya rumah inti pada tahap pertama, untuk disusul dengan perluasan bertahap bagi masing-masing rumah diareal perumahan murah tersebut.
3.      Penyediaan lembaga kemasyarakatan yang mendukung pola pengembangan seperti itu, seperti paguyuban yang secara sosial ekonomi berfungsi prakooperatif dan kooperatif untuk mengembangkan kesejahteraan warga areal perumahan murah ini tanpa perlu melakukan penggusuran atas mereka yang terdesak kedudukannya dan terbatas kemampuannya.
4.      Penyediaan sarana pelayanan umum yang memadai, dengan jalan menanganinya secara pemusat bergilir (rotate concentrated efforts) dalam bentuk penanganan menyeluruh secara bergiliran dari satu ke lain areal, yang harus dilandaskan kepada pendekatan menjauhi penyediaan sarana minimal belaka (gang sempit, got dangkal, langkanya tempat-tempat umum untuk keperluan berbeda-beda : lapangan bermain untuk anak-anak, pos pertemuan remaja, bengkel latihan magang untuk bermacam-macam ketrampilan dan seterusnya).
5.      Dengan memainkan “senjata” berupa penyediaan kredit membuat rumah murah dapat pula diterapkan standarisasi pola pembuatan dan pemeliharaan rumah-rumah yang ada untuk tiap areal, dan juga standarisasi sarana pelayanan umum yang diperlukan.
6.      Untuk memungkinkan partisipasi penuh dari pihak penduduk diperlukan pembentukan lembaga-lembaga swadaya masyarakat di tingkat lokal yang akan mengawasi agar pola perencanaan dan rangkaian ketentuan yang sudah diputuskan tidak sampai menyimpang dari acuan semula.
 
KESIMPULAN

Jadi, dalam penentuan kebijakan terkait perumahan di perkotaan, harus memperhatikan banyak hal dan kemungkinan yang akan terjadi setelah pelaksanaan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, perlu pengkajian terkait permasalahan pemukiman yang ada di perkotaan hingga pencarian solusi terkait hal itu tetapi tentunya harus diperhatikan juga apakah kebijakan yang akan diambil tersebut mampu menyelesaikan permasalahan yang ada tanpa menimbulkan permasalahan yang baru yang tentunya memerlukan penyelesaian yang lebih kompleks.


DAFTAR PUSTAKA


Budihardjo, Eko, 1998, Sejumlah Masalah Pemukiman Kota, PT Alumni, Bandung

Budihardjo, Eko, 1994, Percikan Masalah Arsitektur Perumahan Perkotaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

White, Sammis B, 1992, Perencanaan Kota, Editor Anthony J. Catanese dan James C Snyder, Erlangga, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar