KEBIJAKAN PERUMAHAN DI PERKOTAAN
Oleh : Muafani, S.T,M.T.
Abstrak
Perumahan yang merupakan
salah satu dari tiga kebutuhan pokok manusia yang harus terpenuhi atau lebih
tepatnya sebagai kebutuhan dasar manusia, mulai hanya sebatas sebagai tempat
berteduh dari hujan dan panas hingga sebagai sarana menunjukkan kelas sosial
atau bahkan sebagai komoditas ekonomi, tentunya sangat mutlak keberadaannya,
tetapi seiring perkembangan penduduk maupun kebutuhan lain yang meyertainya,
perumahan sering tergeser oleh tuntutan pertumbuhan kebutuhan ekonomi seiring
dengan pertumbuhan penduduknya. Kegiatan ekonomi atau perdagangan, yang pada
umumnya terpusat, sering mengeser keberadaan perumahan yang seharusnya mampu
berdampingan dan berjalan beriringan karena fungsi perumahan sebagai kebutuhan
dasar manusia, namun pada kenyataannya, karena dalam rangka pemenuhan tuntutan
kebutuhan ekonomi, perumahan menjadi bergeser ke pinggir pusat kota sebagai
pusat perekonomian atau pusat kegiatan. Oleh karena itu, perlu pemahaman
tentang pemenuhan kebutuhan ekonomi tanpa harus mngesampingkan keberadaan
perumahan sebagai kebutuhan dasar manusia sehingga area perdagangan yang hanya
kegiatannya berjalan pada pagi hingga sore hari, pada saat malam hari akan
tetap berlangsung kehidupan yang tentunya akan mengurangi tingkat kriminalitas
pada komplek perdagangan.
Kata
Kunci : Perumahan, Perdagangan, keamanan, malam hari
PENDAHULUAN
Dewasa
ini, kebutuhan perumahan semakin bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk
yang sangat pesat dan kurang mampu dikendalikan baik oleh pemerintah maupun
masing-masing individunya. Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia atau kalau
dalam falsafah jawa mengatakan bahawa rumah atau papan merupakan kebutuhan pokok setiap orang. Namun dalam perkembangannya,
rumah saat ini juga dapat berperan sebagai sarana pengakuan status sosial
manusia hingga rumah juga mampu dijadikan sebagai komuditas ekonomi yang
menjanjikan.
Sebagai
kebutuhan dasar manusia, rumah harus mampu menampung kegiatan penghuninya atau tidak
hanya bisa menampilkan bentuk fisik bangunan tanpa memperhatikan kebutuhan
wadah kegiatan penghuninya yang tentunya satu orang dengan yang lainnya
kemungkinan besar terdapat perbedaan. Rumah akan mampu menampung dan memenuhi
kebutuhan kegiatan dari penghuninya apabila rumah tersebut memang diperuntukkan
dan dibuat sesuai dengan kebutuhan kegiatan penghuninya.
Seiring
pemenuhan kebutuhan dasar manusia, selain perumahan, secara bersama tentunya
akan muncul tuntutan pemenuhan kebutuhan yang lainnya. Dari kegiatan pemenuhan
kebutuhan ini akan muncul dan berkembang kegiatan perekonomian atau perdagangan
yang berada di pusat keramaian atau pusat kota yang menyebabkan bergesernya
fungsi perumahan menjadi kawasan perdagangan. Sehingga akan menuntut perubahan
fungsi dari sekedar bangunan sebagai rumah huni menjadi kios hingga gudang.
Kota
atau pusat kota sebagai pusat kegiatan manusia yang sering hanya berlangsung
pada pagi hingga sore hari, sepertihalnya pusat perdagangan, akan memungkinkan
meningkatnya kejahatan di dalamnya. Selain hal tersebut, kota juga merupakan
daerah yang telah terjamah oleh perencanaan yang terperinci sehingga sebenarnya
mampu ditata terkait dengan perkembangannya. Selanjutnya, kota sebagai
konsentrasi penduduk terbesar akan berkembang seiring dengan kebutuhan
pemenuhan wadah kegiatan yang berlangsung. Disamping itu, Kota secara
sosiologis dapat dikemukakan sebagai sumber pengembangan manusiawi hingga
sumber konflik sosial massif yang akan merubah seluruh kehidupan.
PEMBAHASAN
Dalam
rangka untuk menampilkan gambaran strategi keterpaduan dalam pengembangan kota
sebagai wilayah pemukiman, diharapkan dengan beberapa kebijakan yang multi
sektoral mampu memenuhi wawasan keterpaduan yang diidam-idamkan. Wahid (1983)
dalam Budihardjo (1998) mengungkapkan kebijakan dalam pengembangan daerah
perkotaan sebagai wilayah pemukiman ini adalah :
1.
Perbaikan
lingkungan fisik wilayah pemukimannya, baik untuk tempat tinggal, tempat usaha
dan bekerja, tempat rekreasi dan hiburan, tempat pendidikan dan pengembangan
pribadi secara kultural dengan bagian-bagian lain dari negara yang sama dan
negara-negara lain,
2.
Perluasan
lingkungan wilayah pemukimannya secara drastis, terutama dengan membuka
tanah-tanah baru, baik melalui cara tidak langsung oleh pemerintah (kredit
untuk real estate) maupun langsung oleh pemerintah (penyediaan perumahan murah
dan sebagai kelanjutan, rumah susun),
3.
Perluasan
jaringan wilayah pemukiman dengan jalan mendorong pertumbuhan permukiman di
kota-kota lain sekitar, dalam sebuah proses perkembangan komplementatif antar
kota (Jakarta – Tangerang – Bekasi – Karawang, Semarang – Salatiga – Kendal –
Kudus, Yogyakarta – Klaten – Wates – Magelang – Bantul, Surabaya – Malang –
Mojokerto – Bangkalan – Gresik), yang bertumpu pada kecepatan laulintas dan
mudahnya sarana perhubungan antar kota,
4.
Pemencaran
kawasan industri ke pinggiran kota-kota besar, digabungkan dengandesentralisasi
kawasan pasar dan pusat perdagangan (terutama kawasan keuangan/financial distric, kawasan pelayanan
wisata dan kawasan perkantoran/high rise
office buildings),
5.
Penciptaan
kantong-kantong rekreasi massif di pinggiran maupun di tengah-tengah kota, baik
yang bersifat sederhana (taman-taman biasa) hingga yang merupakan kompleks
lengkap sebagai dunia hiburan tersendiri (Taman Mini Indonesia Indah, Taman
Impian Jaya Ancol),
6.
Penyediaan
sarana insidentil berskala massif untuk menampung arus pulang ke udik selama
beberapa hari saja di waktu-waktu tertentu, seperti menjelang lebaran, tahun
baru dan sebagainya.
7.
Perbaikan
pelayanan umum secara bertahap tetapi menetap, dan jaringan yang semakin luas
(pelayanan telepon, penyediaan tenaga listrik, pemasangan pipa air leiding,
pemasangan pipa gas alam dan seterusnya.
Nasution
(1983) dalam Budihardjo (1998) menyatakan bahwa telah menjadi kenyataan umum,
bahwa di kota-kota besar selalu terjadi aglomerasi penduduk dan berbagai
kegiatan baik kegiatan ekonomi, politik, maupun kebudayaan yang cukup besar dan
pada umumnya juga terjadi pengelompokan kegiatan di suatu lokasi tertentu,
sehingga di kota-kota besar kita akan selalu menyaksikan berbagai pusat
kegiatan, yang antara lain pusat perkantoran, pusat perdagangan, kampus
universitas, dan sebagainya yang akan menimbulkan adanya persaingan untuk
memperebutkan lokasi-lokasi di sekitar pusat kegiatan atau paling dekat dengan
pusat-pusat kegiatan industri, perdagangan atau perkantoran itu. Hal ini
menunjukkan bahwa permasalahan permukiman bukan hanya menyangkut perbandingan
antara jumlah penduduk yang semakin bertambambah dengan luas tanah yang tersedia
tetapi juga menyangkut persaingan mendapatkan lokasi.
Dari
persaingan memeroleh tempat pada pusat kegiatan akan menyebabkan pergeseran
fungsu pemukiman dan penurunan kualitas kehidupan di kawasan perkampungan
rakyat di tengah-tengah kota, walaupun ada proyek perbaikan kampug, juga
memaksa mereka yang tidak mampu menanggung beban ekonomis pemeliharaan tingkat
kualitas yang ada, untuk berpindah ke tempat lain, umumnya ke pinggiran kota
dan membentuk kawasan perumahan yang paralel penyebarannya dengan penyebaran
lapisan-lapisan lebih mampu di kawasan-kawasanmewah dan menengah yang baru di
pinggiran kota.
Namun
demikian, pola pemekaran wilayah pemukiman dengan membuka daerah-daerah baru
tidak memecahkan masalah penurunan kualitas kehidupan di tengah kota, kalau ditinjau
dari sudut sosiologi, bahkan dengan kondisi semacam ini akan mematikan
kehidupan sosial pada malam hari di pusat kota karena sudah tidak ada lagi
kegiatan yang berjalan. Karena kalau dilihat dari sudut pandang pola pemekaran
daerah perkotaan sebagai wilayah pemukiman saja sudah tampak masalah mendasar
yang dihadapi rangkaian kebijakan perkotaan selama ini, maka dapat diperkirakan
kesulitan-kesulitan besar yang dihadapi oleh aspek-aspek lain dari totalitas
kebijakan yang diambil itu (Wahid, 1983 dalam Budihardjo, 1998).
Keterpaduan
tidak berarti harus diambilnya pola pemekaran sekaligus peningkatan pelayanan
umum, karena itu berada di luar jangkauan pemerintahan negara-negara berkembang
sepertihalnya Indonesia, keterpaduan justru harus dicari pada pilihan yang
dilakukan antara antara kedua hal tersebut di atas, yaitu antara pemekaran
wilayah pemukiman dan peningkatan pelayanan umum.
Di
samping hal tersebut di atas, sering muncul pertanyaan terkait kepentingan umum
dalam penentuan suatu lokasi tanah sebagai daerah pemukiman, namun demikian,
kadang penentuan sebagai kepentingan umum tersebut kadang dijadikan tabir di
balik kepentingan swasta yang bersembunyi di belakangnya. Konflik-konflik yang
terjadi dalam proses penggusuran selama ini sering disebabkan karena adanya
keraguan masyarakat bahwa penggusuran tanah-tanah mereka adalah benar-benar
untuk dan demi kepentingan umum (Nasution, 1983 dalam Budihadjo, 1998).
Hal
ini juga terjadi pada saat dilaksanakan kebijakan pemerintah terkait peremajaan
kota yang terutama diarahkan guna menghilangkan daerah kumuh melalui upaya
pembangunan kembali. Teori yang mendasari program ini adalah bahwa para
penduduk kota tidak hanya akan memperoleh tempat tinggal yang lebih baik bila
rumah yang rusak dimusnahkan, melainkan daerah perkotaan juga akan lebih siap
untuk melakukan pembangunan ekonominya kembali, namun kenyataannya karena
operasi pasar perumahan tidak dikenal secara luas maka para penghuni yang ada
hanya berpindah ke daerah sekitarnya sehingga menimbulkan daerah kumuh yang
baru (White, 1992).
White
(1992) juga mengungkapkan permasalahan lain yang terkait dengan pemekaran atau
dengan penciptaan perumahan baru, adalah
1. kemampuan masyarakat untuk memperoleh perumahan,
2. pembiayaan pemerintah di bidang perumahan,
3. perawatan bagi perumahan dan kualitas lingkungan
tempat tinggal,
4. berkurangnya campur tangan pemerintah di bidang
perumahan.
Dalam
penentuan kebijakan yang menyangkut perumahan tentunya harus memperhatikan
beberapa hal dan Wahid (1983) dalam Budihadjo (1998) menerangkan bahwa
rangkaian kebijakan tersebut minimal harus meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Penetapan areal (zona) perumahan murah di
kawasan-kawasan rakyat yang sudah ada, untuk diremajakan secara
berangsur-angsur dengan sarana kredit yang memadai dari pemerintah, dengan
melarang sama sekali pembuatan rumah mewah dalam areal tersebut.
2. Penetapan pola pembagian kapling yang memungkinkan
dibangunnya rumah inti pada tahap pertama, untuk disusul dengan perluasan
bertahap bagi masing-masing rumah diareal perumahan murah tersebut.
3. Penyediaan lembaga kemasyarakatan yang mendukung
pola pengembangan seperti itu, seperti paguyuban yang secara sosial ekonomi
berfungsi prakooperatif dan kooperatif untuk mengembangkan kesejahteraan warga
areal perumahan murah ini tanpa perlu melakukan penggusuran atas mereka yang
terdesak kedudukannya dan terbatas kemampuannya.
4. Penyediaan sarana pelayanan umum yang memadai,
dengan jalan menanganinya secara pemusat bergilir (rotate concentrated efforts) dalam bentuk penanganan menyeluruh
secara bergiliran dari satu ke lain areal, yang harus dilandaskan kepada
pendekatan menjauhi penyediaan sarana minimal belaka (gang sempit, got dangkal,
langkanya tempat-tempat umum untuk keperluan berbeda-beda : lapangan bermain
untuk anak-anak, pos pertemuan remaja, bengkel latihan magang untuk
bermacam-macam ketrampilan dan seterusnya).
5. Dengan memainkan “senjata” berupa penyediaan kredit
membuat rumah murah dapat pula diterapkan standarisasi pola pembuatan dan
pemeliharaan rumah-rumah yang ada untuk tiap areal, dan juga standarisasi
sarana pelayanan umum yang diperlukan.
6. Untuk memungkinkan partisipasi penuh dari pihak
penduduk diperlukan pembentukan lembaga-lembaga swadaya masyarakat di tingkat
lokal yang akan mengawasi agar pola perencanaan dan rangkaian ketentuan yang
sudah diputuskan tidak sampai menyimpang dari acuan semula.
KESIMPULAN
Jadi,
dalam penentuan kebijakan terkait perumahan di perkotaan, harus memperhatikan
banyak hal dan kemungkinan yang akan terjadi setelah pelaksanaan kebijakan
tersebut. Oleh karena itu, perlu pengkajian terkait permasalahan pemukiman yang
ada di perkotaan hingga pencarian solusi terkait hal itu tetapi tentunya harus
diperhatikan juga apakah kebijakan yang akan diambil tersebut mampu
menyelesaikan permasalahan yang ada tanpa menimbulkan permasalahan yang baru
yang tentunya memerlukan penyelesaian yang lebih kompleks.
DAFTAR
PUSTAKA
Budihardjo,
Eko, 1998, Sejumlah Masalah Pemukiman
Kota, PT Alumni, Bandung
Budihardjo,
Eko, 1994, Percikan Masalah Arsitektur
Perumahan Perkotaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
White,
Sammis B, 1992, Perencanaan Kota,
Editor Anthony J. Catanese dan James C Snyder, Erlangga, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar