KONSEP GREEN
BUILDING dalam PERSPEKTIF AGAMA
Oleh : Muafani, S.T. M.T.
Abstrak
Green building atau yang lebih
dikenal dengan istilah Bangunan ramah lingkungan merupakan fenomena dan perkembangan
arsitektur dewasa ini dalam rangka menyikapi dan mencoba untuk mencegah
terjadinya pemanasan global yang disebabkan oleh menipisnya lapisan ozon yang
tentunya juga akibat sumbangsih gaya hidup modern yang kurang memperhatikan
lingkungan sehingga keseimbangan lingkungan menjadi terganggu, sekalipun
menjaga lingkungan sebenarnya sudah dituntunkan dalam setiap ajaran agama. Lingkungan
hidup tidak semata‑mata dipandang sebagai penyedia sumber daya alam serta
sebagai daya dukung kehidupan yang harus dieksploitasi, tetapi juga sebagai
tempat hidup yang mensyaratkan adanya keserasian dan keseimbangan antara
manusia dengan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup dapat muncul karena
adanya pemanfaatan sumber daya alam dan jasa‑jasa lingkungan yang berlebihan
sehingga meningkatkan berbagai tekanan terhadap lingkungan hidup, baik dalam
bentuk kelangkaan sumber daya dan pencemaran maupun kerusakan lingkungan
lainnya. Berbagai masalah lingkungan hidup, terutama yang berkaitan dengan
pemanasan global, kepunahan jenis flora dan fauna serta melebarnya lubang
lapisan ozon, pencemaran dan kemiskinan, telah menjadi masalah global karena
meliputi seluruh bagian bumi. Tak satu pun bangsa dan negara di dunia yang
luput dari dampak yang ditimbulkan oleh berbagai masalah tersebut.
Kata Kunci : Green Building,
Manusia, Lingkungan, Agama,
PENDAHULUAN
Konsep Green Building atau
bangunan ramah lingkungan saat ini sedang menjadi tren dunia bagi pengembangan
property, karena diharapkan dengan bangunan ramah lingkungan ini mempunyai
kontribusi menahan laju pemanasan global dengan mampu membenahi iklim mikro.
Secara ekologis, manusia adalah bagian dari lingkungan hidup. Komponen yang
ada di sekitar manusia yang sekaligus sebagai sumber mutlak kehidupannya
merupakan lingkungan hidup manusia. Lingkungan hidup inilah yang menyediakan
berbagai sumber daya alam yang menjadi daya dukung bagi kehidupan manusia dan
komponen lainnya. Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang terdapat di alam
yang berguna bagi manusia, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk masa
kini maupun masa mendatang. Kelangsungan hidup manusia tergantung dari
kebutuhan lingkungannya, sebaliknya kebutuhan lingkungan tergantung
bagaimana kearifan manusia dalam mengelolanya.
Oleh karena itu, lingkungan hidup tidak semata‑mata dipandang sebagai
penyedia sumber daya alam serta sebagai daya dukung kehidupan yang harus
dieksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya
keserasian dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidup. Masalah
lingkungan hidup dapat muncul karena adanya pemanfaatan sumber daya alam dan
jasa‑jasa lingkungan yang berlebihan sehingga meningkatkan berbagai tekanan
terhadap lingkungan hidup, baik dalam bentuk kelangkaan sumber daya dan
pencemaran maupun kerusakan lingkungan lainnya. Berbagai masalah lingkungan
hidup, terutama yang berkaitan dengan pemanasan global, kepunahan jenis flora
dan fauna serta melebarnya lubang lapisan ozon, pencemaran dan kemiskinan,
telah menjadi masalah global karena meliputi seluruh bagian bumi. Tak satu pun
bangsa dan negara di dunia yang luput dari dampak yang ditimbulkan oleh
berbagai masalah tersebut.
PEMBAHASAN
Pada saat terjadi bencana tsunami di beberapa negara termasuk di Indonesia,
seperti yang pernah diberitakan oleh harian Kompas, bahwa United Nations
Environment Programme (UNEP) menyiapkan desain rumah ramah lingkungan
(eco-house) untuk daerah-daerah yang terkena bencana tsunami di beberapa
negara. Desain tersebut akan disesuaikan dengan kondisi sosial-budaya di daerah
yang membutuhkannya. Beberapa tipe desain rumah ramah lingkungan dipaparkan
dalam workshop tentang eco-house/city, yang diselenggarakan bersama oleh Kantor
Regional UNEP untuk Asia-Pasifik dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup di
Jakarta, Senin (30/5). Desain rumah yang juga telah dipresentasikan di Sri
Lanka dan Maladewa itu menggunakan elemen-elemen alami sehingga ramah
lingkungan dan hemat energi.
Staf Urusan Lingkungan Hidup Regional pada Kantor Regional UNEP untuk
Asia-Pasifik, Mahesh Pradhan, menjelaskan bahwa konsep awal itu akan
diintegrasikan dengan kondisi dan kebijakan pemerintah setempat. Di Indonesia,
tentu konsep eco-house atau eco-village ini akan disinergikan dengan cetak biru
yang telah dibuat Bappenas. Hal ini juga mempertimbangkan aspek sosial budaya
masyarakat setempat. Misalnya, di Aceh masjid merupakan sesuatu yang sangat
sentral, itu harus disesuaikan dengan konsep eco-village yang kami tawarkan. Masyarakat
yang tertimpa bencana tsunami lebih membutuhkan acuan yang praktis untuk membangun
kembali rumahnya. Karena itulah, UNEP mencoba memberikan beberapa alternatif
desain rumah yang secara fleksibel dapat disesuaikan dengan kebutuhan setempat.
Menurut Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, Arsyiah Arsyad, pemerintah daerah telah menyiapkan
kawasan untuk dijadikan proyek percontohan di Desa Labuy, Kecamatan Darussalam,
Kabupaten Aceh Besar. Pihaknya masih menunggu penetapan kawasan tersebut
sebagai eco-village atau yang dalam bahasa Aceh disebut sebagai kuta beutari
(kota yang indah dan nyaman). Terkait dengan penyiapan eco-village itu, Asisten
Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Urusan Standarisasi dan Teknologi Hendra
Setiawan mengemukakan perlunya suatu pusat pelayanan bagi masyarakat, yaitu semacam
construction support center, untuk memberi layanan informasi kepada masyarakat.
Sedangkan dalam pemberitaan lain, di harian Kompas pernah dimuat tentang
pembahasan Konsep green building atau bangunan ramah lingkungan yang didorong
menjadi tren dunia bagi pengembangan properti saat ini. Bangunan ramah
lingkungan ini punya kontribusi menahan laju pemanasan global dengan membenahi
iklim mikro. “Poin terbesar dalam konsep ini adalah penghematan air dan energi
serta penggunaan energi terbarukan,” kata Rana Yusuf Nasir dari Ikatan Ahli
Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI), sebagai salah satu pembicara dalam diskusi
panel “Pemanasan Global-Apa yang Dapat Dilakukan Dunia Properti?”, Jumat (24/8)
di Jakarta.
Di Indonesia akses energi terbarukan masih lemah. Suplai energi listrik
untuk properti hanya mengandalkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang belum
menggunakan sumber energi terbarukan. Sedangkan di Amerika Serikat, berbagai
perusahaan penyuplai energi listrik dengan berbagai pilihan bahan bakar, termasuk
bahan bakar terbarukan. Pengembang yang memilih energi listrik dari sumber
terbarukan akan memperoleh poin terbesar dalam konsep green building. Pembicara
dalam diskusi panel tersebut di antaranya Yandi Andri Yatmo (Ikatan Arsitek
Indonesia-Jakarta), Meiko Handoyo (Dewan Pimpinan Daerah Real Estat
Indonesia-Jakarta), Simon Molenberg (Director Tourism, Real Estate and
Construction Asia Region), dan Stephanus D Satriyo (Asosiasi Manajemen Properti
Indonesia).
Di banyak negara, bagi Meiko, penerapan konsep green building terbukti
menambah nilai jual. Namun, di Indonesia masih butuh proses edukasi panjang. Di
Indonesia bahkan muncul kerancuan bahwa bangunan ramah lingkungan itu mahal,
sulit, dan tidak feasible secara bisnis. padahal para pengelola gedung sebagai
pengguna energi cukup besar kini memiliki tanggung jawab mengurangi pemanasan
global dengan cara-cara menghemat energi, air, bahan bakar, dan sebagainya.
Kegiatan diskusi panel yang difasilitasi PT Colliers International
Indonesia dan PT Cisco System Indonesia itu sekaligus untuk mengenalkan acuan
green building melalui konsep Leadership
in Energy and Environtmental Design (LEED). Penerapan konsep LEED pada
hakikatnya sebagai upaya pemberian penghargaan atas karya properti ramah
lingkungan atau yang memegang konsep green building. Konsep LEED memperkenalkan
85 poin penilaian yang memiliki peringkat tersertifikasi, silver, gold, dan
platinum.
Menurut Rana, yang juga menjadi Ketua Himpunan Ahli Tata Udara dan
Refrigerasi tersebut, penerapan LEED untuk pembangunan properti juga
mensyaratkan secara mutlak beberapa hal, seperti efisiensi penggunaan air,
penggunaan energi secara minimum, atau upaya perlindungan lapisan ozon.
Sementara itu, pemilik atau pembangun properti di Indonesia hingga sekarang belum
ada yang memiliki sertifikasi LEED. Di lain pihak, Beberapa negara, seperti
India, China, Dubai, dan Vietnam, juga sudah cukup banyak menerapkan konsep
LEED. Sertifikasi LEED pada awalnya dirumuskan Green Building Council Amerika
Serikat.
Sedangkan menurut Yandi, dunia pendidikan dan profesi arsitektur selama ini
cenderung melihat arsitektur sebagai bangunan yang berdiri sendiri. Kita perlu
memperluas pengertian tentang arsitektur ini. Tolok ukur green building membuka
kesempatan untuk menempatkan bangunan dalam jaringan yang lebih luas, terkait
aspek-aspek iklim, sumber daya alam, sosial, dan budaya. Pendidikan berperan
penting dalam pemahaman tentang sustainability. Isu utama menyangkut bangunan
ramah lingkungan, di antaranya adalah membangun hanya yang diperlukan dan tidak
menggunakan lebih dari yang diperlukan, menganut prinsip keterkaitan, serta
memandang profesi arsitek sebagai “pengurus bumi” (steward of the earth). Strategi desain yang dapat diterapkan antara
lain, pemanfaatan material berkelanjutan, keterkaitan dengan ekologi lokal,
keterkaitan antara transit dan tempat tinggal, rekreasi dan bekerja, serta
efisiensi penggunaan air, penanganan limbah, dan mengedepankan kondisi lokal
baik secara fisik maupun secara sosial.
PANDANGAN GLOBAL AGAMA MENYOROTI MASALAH LINGKUNGAN HIDUP
Dalam Agama Kristen, Alkitab memperingatkan bahwa kerusakan alam selama ini
adalah karena ulah dan kejahatan manusia. Mazmur (107:33-34), misalnya,
menyatakan:
“Dibuat-Nya sungai-sungai menjadi padang gurun, dan pancaran-pancaran
air menjadi tanah gersang, tanah yang subur menjadi padang asin, oleh sebab
kejahatan orang-orang yang diam di dalamnya“.
Alkitab sebenarnya tidak pernah menyaksikan bahwa Tuhan memberikan hak
kepada manusia untuk menguasai dan mengusahakan alam dan sumber dayanya secara
eksploitatif dan seenaknya. Sebaliknya, manusia dituntut tanggung jawabnya
untuk memelihara dan mengasihi segala ciptaan-Nya.
Sedangkan Hindu menerangkan bahwa di dalam Mahabaratha terdapat keterangan
bahwa
“Alam adalah pernberi segala
keinginan dan alam adalah sapi perah yang selalu mengeluarkan susu (kenikmatan)
bagi yang menginginkannya.”
Ungkapan ini mengandung arti bahwa bumi atau alam yang diibaratkan sebagai
sapi perah harus dipelihara dengan baik sehingga banyak mengeluarkan kebutuhan
yang diperlukan oleh manusia. Kalau sapi perah itu tidak dipelihara, apalagi
dibantai, niscaya ia tidak akan mengeluarkan susu lagi untuk kehidupan manusia.
Dengan kata lain, alam ini apabila dieksploitasi akan membuat manusia sengsara.
Adapan Agama Budha menyatakan bahwa dalam Karaniyametta Sutta
disebutkan :
“…hendaklah ia berpikir semoga semua makhluk berbahagia. Makhluk hidup
apapun juga, yang lemah dan yang kuat tanpa kecuali, yang panjang atau yang
besar, yang sedang, pendek, kecil atau gemuk, yang tampak atau tak tampak, yang
jauh ataupun yang dekat, yang terlahir atau yang akan lahir, semoga semua
makhluk berbahagia“.
Hal ini mengandung arti bahwa agama Budha menolak terjadinya pencemaran dan
perusakan alam dan segenap potensinya.
Lain halnya dalam pandangan atau perspektif Islam terkait dengan keharusan
menyikapi Konsep Green Building atau
Ramah Lingkungan yang tentunya didasarkan pada hal-hal atau pedoman yang
terkandung dalam Kitab Suci Al Qur’an yang dijadikan pedoman dan pandangan
hidup setiap muslim dalam menjalani segal aktifitas kehidupannya, Allah telah
memberikan informasi spiritual kepada manusia untuk bersikap ramah terhadap
lingkungan. Informasi tersebut memberikan sinyalamen bahwa manusia harus selalu
menjaga dan melestarikan lingkungan agar tidak menjadi rusak, tercemar bahkan
menjadi punah, sebab apa yang Allah berikan kepada manusia semata-mata
merupakan suatu amanah. Melalui Kitab Suci yang Agung ini (Al-Qur’an)
membuktikan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk
bersikap ramah lngkungan. Firman Allah SWT Di dalam Al-Qur’an sangat jelas berbicara
tentang hal tersebut.
Sikap ramah lingkungan yang diajarkan oleh agama Islam kepada manusia dapat
dirinci sebagai berikut :
1.
Agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya
Perhatikan surat Ar Ruum ayat 9 dibawah ini :
Artinya : Dan apakah mereka tidak mengadakan
perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh
orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka
(sendiri) dan telah mengolah
bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka
makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa
bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada
mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri.
Pesan yang disampaikan dalam surat Ar Ruum ayat
9 di atas menggambarkan agar manusia tidak mengeksploitasi sumber daya
alam secara berlebihan yang dikwatirkan terjadinya kerusakan serta kepunahan
sumber daya alam, sehingga tidak memberikan sisa sedikitpun untuk generasi
mendatang. Untuk itu Islam mewajibkan agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya.Mengolah serta
melestarikan lingkungan tercermin secara sederhana dari tempat tinggal
(rumah) seorang muslim. Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah Hadits yang
diriwayatkan oleh Thabrani :
”Dari Abu Hurairah : jagalah kebersihan dengan
segala usaha yang mampu kamu lakukan. Sesungguhnya Allah menegakkan Islam di
atas prinsip kebersihan. Dan tidak akan masuk syurga, kecuali orang-orang yang
bersih” . (HR.
Thabrani).
Dari
Hadits di atas memberikan pengertian bahwa manusia tidak boleh kikir untuk
membiayai diri dan lingkungan secara wajar untuk menjaga kebersihan agar
kesehatan diri dan keluarga/masyarakat kita terpelihara.Demikian pula,
mengusahakan penghijauan di sekitar tempat tinggal dengan menanamkan pepohonan
yang bermanfaat untuk kepentingan ekonomi dan kesehatan, disamping juga dapat
memelihara peredaran suara yang kita hisap agar selalu bersih, bebas dari
pencemaran. Dalam sebuah Hadits disebutkan :
”Tiga hal yang menjernihkan
pandangan, yaitu menyaksikan pandangan pada yang hijau lagi asri, dan pada air
yang mengalir serta pada wajah yang rupawan (HR. Ahmad)
2.
Agar manusia tidak berbuat kerusakan
terhadap lingkungan
Di dalam surat Ar Ruum ayat 41 Allah SWT
memperingatkan bahwa terjadinya kerusakan di darat dan di laut akibat ulah
manusia.
Artinya : Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Serta surat Al Qashash ayat 77 menjelaskan sebagai berikut
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.
Firman Allah SWT di dalam surat Ar Ruum ayat
41 dan surat Al Qashash ayat 77 menekankan agar manusia berlaku ramah terhadap
lingkungan (environmental friendly) dan tidak berbuat kerusakan di
muka bumi ini. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Anas,
dijelaskan bahwa :
”Rasulullah ketika berwudhu’ dengan (takaran air
sebanyak) satu mud dan mandi (dengan takaran air sebanyak) satu sha’ sampai
lima mud” (HR.
Muttafaq ’alaih).
Satu mud sama dengan 1 1/3 liter menurut orang
Hijaz dan 2 liter menurut orang Irak (lihat Lisanul Arab Jilid 3 hal 400).
Padahal hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahputra (2003) membuktikan bahwa
rata-rata orang berwudhu’ sebanyak 5 liter. Hal ini membuktikan bahwa manusia
sekarang cenderung mengekploitasi sumber daya air secara berlebihan, atau
dengan kata lain, setiap manusia menghambur-hamburkan air sebanyak 3
sampai 3 2/3 liter setiap orangnya setiap kali mereka berwudhu’.
Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah, bahwa Nabi pernah bersabda :
”Hati-hatilah terhadap dua macam kutukan; sahabat
yang mendengar bertanya : Apakah dua hal itu ya Rasulullah ? Nabi menjawab :
yaitu orang yang membuang hajat ditengah jalan atau di tempat orang yang
berteduh”
Di dalam Hadits lainnya ditambah dengan membuang
hajat di tempat sumber air.
Dari keterangan di atas, jelaslah aturan-aturan
agama Islam yang menganjurkan untuk menjaga kebersihan dan lingkungan. Semua
larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah agar tidak mencelakakan orang
lain, sehingga terhindar dari musibah yang menimpahnya.Islam memberikan panduan
yang cukup jelas bahwa sumber daya alam merupakan daya dukung bagi kehidupan
manusia, sebab fakta spritual menunjukkan bahwa terjadinya bencana alam seperti
banjir, longsor, serta bencana alam lainnya lebih banyak didominasi oleh
aktifitas manusia. Allah SWT Telah memberikan fasilitas daya dukung lingkungan
bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, secara yuridis fiqhiyah berpeluang
dinyatakan bahwa dalam perspektif hukum Islam status hukum pelestarian
lingkungan hukumnya adalah wajib (Abdillah, 2005 : 11-12).
3.
Agar manusia selalu membiasakan diri bersikap
ramah terhadap lingkungan
Di dalam Surat Huud ayat 117, Allah SWT
berfirman :
Artinya : Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan
membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang
berbuat kebaikan.
Fakta spritual yang terjadi selama ini membuktikan
bahwa Surat Huud ayat 117 benar-benar terbukti. Perhatikan bencana alam banjir
di Jakarta, tanah longsor yang di daerah-daerah di Jawa Tengah, intrusi air
laut, tumpukan sampah dimana-mana, polusi udara yang tidak terkendali, serta
bencana alam di daerah atau di negara lain membuktikan bahwa Allah akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, melainkan penduduknya
terdiri dari orang-orang yang berbuat kebaikan terhadap lingkungan.
Dalam suatu kisah diriwayatkan, ada seorang
penghuni surga. Ketika ditanyakan kepadanya perbuatan apakah yang dilakukannya
ketika di dunia hingga ia menjadi penghuni surga?. Dia menjawab bahwa selagi di
dunia, ia pernah menanam sebuah pohon. Dengan sabar dan tulus, pohon itu
dipeliharanya hingga tumbuh subur dan besar. Menyadari akan keadaannya yang
miskin ia teringat bunyi sebuah hadits Nabi,
“Tidak
seorang muslim yang menanam tanaman atau menyemaikan tumbuh-tumbuhan, kemudian
buah atau hasilnya dimakan manusia atau burung, melainkan yang demikian itu
adalah shodaqoh baginya”.
Didorong keinginan untuk bersedekah, maka ia
biarkan orang berteduh di bawahnya, dan diikhlaskannya manusia dan burung
memakan buahnya. Sampai ia meninggal pohon itu masih berdiri hingga setiap
orang (musafir) yang lewat dapat istirahat berteduh dan memetik buahnya untuk
dimakan atau sebagai bekal perjalanan. Burung pun ikut menikmatinya. Riwayat
tersebut memberikan nilai yang sangat berharga sebagai bahan kontemplasi,
artinya dengan adanya kepedulian terhadap lingkungan memberikan dua pahala
sekaligus, yakni pahala surga dunia berupa hidup bahagia dan sejahtera dalam
lingkungan yang bersih, indah dan hijau, dan pahala surga akhirat kelak di
kemudian hari. Untuk mendapatkan dua pahala tersebut seorang
manusia harus peduli terhadap lingkungan, apalagi manusia telah diangkat
oleh Allah sebagai khalifah. Hal ini dapat dilihat pada surat
Al-Baqarah ayat 30 berikut :
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi.”
Kekhalifahan menuntut manusia
untuk memelihara, membimbing dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai
maksud dan tujuan penciptaanNya. Karena itu, Nabi Muhammad SAW melarang memetik
buah sebelum siap untuk dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar, atau
menyembelih binatang yang terlalu kecil. Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan
agar selalu bersikap bersahabat dengan segala sesuatu sekalipun tidak bernyawa.
Al-Qu’an tidak mengenal istilah ”penaklukan alam” karena secara tegas Al-Qur’an
menyatakan bahwa yang menaklukan alam untuk manusia adalah Allah. Secara tegas
pula seorang muslim diajarkan untuk mengakui bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan
untuk menundukkan sesuatu kecuali dengan penundukan Allah (Shihab, 1996 :
492-493).
KESIMPULAN DAN SARAN
Secara ekologis pelestarian lingkungan merupakan keniscayaan ekologis yang
tidak dapat ditawar oleh siapapun dan kapanpun. Oleh karena itu, pelestarian
lingkungan tidak boleh tidak harus dilakukan oleh manusia. Sedangkan secara
spiritual fiqhiyah Islamiyah Allah SWT memiliki kepedulian ekologis yang
paripurna. Paling tidak dua pendekatan ini memberikan keseimbangan pola pikir
bahwa lingkungan yang baik berupa sumber daya alam yang melimpah yang diberikan
Allah SWT kepada manusia tidak akan lestari dan pulih (recovery)
apabila tidak ada campur tangan manusia. Hal ini diingatkan oleh Allah dalam
Surat Ar Ra’d ayat 11 :
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Umat Islam selalu berkeyakinan untuk tidak
terperosok pada kesalahan yang kedua kalinya. Kejadian yang sangat dasyat yang
kita alami akhir-akhir ini, sebut saja bencana alam Tsunami misalnya,
pencemaran udara, pencemaran air dan tanah, serta sikap rakus pengusaha dengan
menebang habis hutan tropis melalui aktifitas illegal logging, serta sederet bentuk kerusakan lingkungan hidup
lainnya, haruslah menjadi pelajaran yang sangat berharga.
Hal ini ditegaskan oleh dalam firmanNya di dalam
surat Al-Hasyr ayat 2 :
”Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai
orang-orang yang mempunyai pandangan”
Bersikaplah menjadi pelaku aktif dalam
mengolah lingkungan serta melestarikannya, tidak berbuat kerusakan
terhadap lingkungan, dan selalu membiasakan diri bersikap ramah terhadap
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, M. 2005. Fikih Lingkungan. UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Harahap, A, dkk. 1997. Islam dan Lingkungan Hidup. Penerbit Yayasan Swarna
Bhumy, Jakarta.
Kahar, M.A., 1996. Almanak Lingkungan Hidup Indonesia 1995/1996. Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup, Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup, 2002. Himpunan Peraturan Perundang-undangan
dibidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan. Jakarta.
Shihab, M.
Quraish, 1996. Wawasan Al-Qu’an, Mizan. Bandung.
Syahputra, B. 2003. Pola Pemanfaatan air di Kecamatan
Kalasan, Sleman,
Yogyakarta. Tesis. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kompas Online, Koran Kompas